Cerita Cinta Sederhana
Puji terdiam lesu. Ia terduduk sendiri di teras rumah menatap kosong pagi yang menyapa hari. Di hadapannya, di sebuah meja kecil, terhidang teh tubruk dalam gelas besar yang belum tersentuh. Supriyadi, suaminya, belum juga pulang sejak kemarin. Puji berpikir mungkin memang dirinyalah yang salah, sehingga tak ayal membuat suami tercinta begitu marah. Bahkan, mungkin saja malah membenci dirinya.
Supriyadi yang bekerja sebagai supir truk pengangkut hasil bumi ke
Semasa pacaran dulu, ia juga tidak neko-neko, tidak seperti
Tapi, bukan berarti masa pacaran mereka adem ayem laksana semilir angin yang membelai senja di Pantai Parangtritis, tempat sejuta peristiwa yang menjadi saksi bisu kisah dua pencinta itu, pertengkaran-pertangkaran kecil pun menjadi bumbu pelengkap masakan cinta mereka. Pertengkaran yang buntut-buntutnya malah memperkuat tali ikatan jiwa mereka.
Dan kali ini tidak seperti dulu. Walaupun dahulu perbedaan pendapat, salah paham atau cemburu menjadi alasan utama pertengkaran yang tak terelakkan, namun kali ini bukan pertengkaran yang seperti itu. Puji takut kalau pertengkaran ini akan menambah bebannya sendiri dan lebih takut lagi kalau tak berujung manis seperti dulu atau bahkan tak berujung.
“Kamu ini jaga kandungan aja ndak becus. Ngidamnya saja yang selalu minta dituruti. Tapi mana buktinya? Mana bukti kalau kamu juga cinta sama si cabang bayi? Aku sayah, Ji. Capek, kesel. Capek berdo’a biar dapet momongan, tapi kamu malah bikin runyam semuanya!” ucap Supriyadi kemarin sore, seraya mengambil jaket dan menghidupkan truk di halaman rumah. Lantas pergi.
Itulah kata-kata terakhir yang sempat Puji ingat sebelum Supriyadi pergi. Memang baru kemarin malam, tetapi ia tahu kalau ia tidak dapat melewati malam tanpa suaminya itu dan tadi malam adalah kali pertamanya ia lewati tanpa Supriyadi. Ketika pacaran pun demikian, setiap malam selama dua setengah tahun tidak pernah tidak saling bertemu. Walau hanya sekejap, walau hanya sesingkat waktu yang tercekat.
Pernah suatu ketika, Bapak melarang Puji keluar rumah waktu malam, karena ada isu genderuwo yang mengincar anak-anak gadis di desa untuk dijadikan santapan syahwatnya.
“Ee, kok ndak percaya. Si Ndari, cah wedok seko ndeso lor, koncomu mbiyen,
Puji tidak percaya. Ia kenal Ndari, teman satu sekolah waktu di SMP dulu itu memang terkenal gatel, ganjen. Bagaimana tidak, saat kelas satu saja sudah sering pulang dengan Pak Doris, guru olahraga yang masih sangat muda. Pulang ke rumah pun ketika senja telah lewat. Puji sering merasa tidak enak ketika diminta Ndari untuk berbohong pada orangtuanya kalau menanyai keberadaan dirinya.
“Anu, Bu. Dia ke rumah Susi buat mengerjakan tugas biologi.”
Atau,
“
Atau,
“Ke rumah Yumi, ada kerja kelompok.”
Begitulah, dan ibunya pun selalu percaya. Heran. Puji jadi merasa tidak enak, merasa bersalah karena kebohongannya terus bertumpuk gara-gara ulah Ndari. Jadi ia tidak heran ketika suatu hari keperawanannya jebol. Puji yakin itu bukan perbuatan genderuwo, karena ia juga yakin genderuwo itu cuma khayalan konyol orang-orang penakut yang ingin meracuni keyakinan penduduk desa yang berangsur-angsur menjadi penakut pula. Mungkin itu perbuatan pacar Ndari entah yang mana, karena lebih dari selusin peminatnya.
Maka, ia pun bertemu dengan Supriyadi di jendela kamarnya. Ketika Supriyadi mengetuk-ngetuk jendela kamar yang terbuat dari kayu, laksana kode morse seseorang yang butuh pertolongan. Pertolongan apa? Apalagi kalau bukan pertolongan cinta. Lama mereka berbicara dan bercanda di jendela kamar tersebut, di bawah terangnya sinar purnama. Lampu kamar sengaja Puji matikan, selain alasan romantis dan hemat energi, juga agar dikira ia telah tertidur. Wajah mereka tersapu lembut sinar keperakan, mereka saling berpandangan dan mulai saling mendekat. Bibir mereka nyaris bertemu, ketika serta merta Bapak mengetuk pintu kamar. Supriyadi terjerembab ke semak bunga berduri di bawah jendela dan terbirit-birit pergi, setelah sebelumnya mengucap dengan logat Jawa-nya yang medok; “I Love You, darling!” pada Puji yang kemudian menutup jendela kamarnya dan menuju pintu.
Betapa berartinya saat malam baginya, senja yang selalu menjemput malam bak sang pangeran yang menjemput sang puteri. Begitulah ia mengumpamakan dirinya. Malam adalah refleksi perenungan tentang segala sesuatu dengan tenang dan malam adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita dengan kesunyian. Satu malam terlewati tanpa suaminya, betapa tersiksanya ia.
Keguguran. Itu adalah kata peristiwa yang memicu pertengkaran mereka kemarin malam. Setelah menunggu bertahun-tahun untuk mendapat momongan, akhirnya mereka diberi kesempatan untuk menjemputnya. Kata dokter, sesaat setelah Puji sering muntah-muntah di pagi hari, ia positif hamil. Kegembiraan pun meluap tak terperi, mereka berpelukan sepanjang pulang, bahkan sampai di rumah.
Ngidam Puji pun aneh-aneh, dari mulai es sarang burung walet, sampai menyentuh telinga kuda delman milik Pak Atmo.
Namun, takdir memang berkata lain, tepat di usia tiga belas pekan kandungannya, Puji mengalami keguguran. Kepeleset waktu nimba air di sumur belakang rumah. Ia berteriak, karena selain merasa perutnya sakit, kakinya juga sempat berdarah akibat terbentur dinding sumur. Beberapa tetangga yang melihat serta mendengar rintih tertahan Puji segera menolongnya, membawanya ke dokter. Turut dalam pagi yang naas itu, dokter menyatakan keguguran atas kandungan Puji.
“Masih untung aku ndak nyemplung ke sumur,” ujar Puji berseloroh ketika Supriyadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernada menyalahkan.
“Aku lagi marah tahu!”
“Iya, aku tahu.”
Supriyadi pun menghabiskan rokok kreteknya.
Kini, Puji yang keguguran hanya terdiam, duduk memandangi jalan depan rumahnya yang mulai sepi, hari telah beranjak siang. Ia menyesal. Kenapa ia harus menimba air pagi itu. Ah, tapi salah suaminya juga, kenapa tidak masang jet pump seperti tetangga kanan-kirinya atau yang modern dikitlah, masang PAM seperti orang-orang di
Tetapi keadaan yang buruk itu sudah terjadi. Waktu terus berjalan. Hanya jejak-jejak karya manusia yang tertinggal, entah yang sesuai dengan keinginan atau tidak. Apakah keadaan yang mesti dipersalahkan?
Betapa tak terpuaskannya hidup, selalu mencoba mencari peluang untuk bisa lepas dari permasalahannya. Puji kini hanya bisa mematut diri di depan cermin besar kehidupan. Apakah memang begitu nista dirinya hingga sulit memperoleh anak? Apakah Tuhan tidak mempercayai dirinya, sangsi terhadap kasih sayang yang akan datang? Mungkin semesta alam telah bosan, mendengarkan keluh kesah pasangan ini yang tiada habis-habisnya, lalu membiarkan harapannya pupus ketika keajaiban itu baru sedikit terwujud. Harapan yang tinggal harapan. Harapan yang kini menambah beban baru.
Rasa nyeri masih dialami Puji. Nyeri di raga dan nyeri di rasa. Supriyadi mungkin tidak merasakan penderitaannya. Kekecewaan akan keguguran membuatnya kehilangan saat-saat romantis yang pernah mereka alami. Puji juga merasa risih kalau ada yang bertanya seputar keguguran kandungannya, ia biasanya akan menjawabnya sesingkat mungkin, lalu pura-pura izin istirahat tidur.
Ia benci dengan orang yang selalu ingin tahu, selalu ingin mengorek habis privasi orang lain, lantas mengumbarnya dengan menyampaikan kisah tersebut pada khalayak, terkadang dengan ditambah bermacam-macam bumbu agar lebih memikat. Jadi, kalau ada yang bertanya tentang keadaannya, lebih baik ia menjawabnya dengan ringkas, lalu mengalihkan pada topik lain seperti pengangkatan presiden baru yang katanya lebih menjanjikan, krisis Teluk Jakarta yang seperti dikuras habis isinya, TKI yang terbebas dari penyanderaan di Irak, atau seputar tanaman yang cocok di sawah menjelang musim penghujan.
Sejak keguguran itu Puji juga sering menangis diam-diam, bukan menangisi dirinya atau sakit yang dialaminya, tetapi kenapa suaminya harus menerima kenyataan ini. Kenyataan memang selalu pahit, begitu yang pernah ia dengar dari lirik Iwan Fals.
Tetapi apakah kepahitan hanya didapat dalam kenyataan, mengapa mimpi tidak pahit? Mimpi bergulir melenakan tanpa membuat kepahitan yang berarti. Mimpi itu indah, namun juga penuh teka-teki dan kejutan. Hanya kenyataan yang bisa dihinggapi rasa pahit. Getir.
Kenapa di saat-saat seperti ini tidak ada yang mau mengerti tentang keadaan dirinya? Kenapa setiap orang selalu bertanya-tanya tentang keguguran, bukannya memberinya dukungan untuk lepas dari beban pelik ini? Kenapa pula suaminya harus menyalahkan dirinya? Kenapa tidak menyalahkan Tuhan saja? Kenapa ia harus pergi? Malam yang terlewati tanpa hangat peluk suami tercinta.
Ketika Puji menuang teh tubruk pahitnya, terdengar langkah-langkah kaki yang begitu dikenalnya. Langkah kaki yang ringan, dengan sepatu yang selalu diseret menyapu tanah hingga terkadang membuat alas kakinya selalu aus. Puji segera tersentak, seperti mendapat sengatan listrik puluhan volt. Ia melihat secercah cahaya. Jantungnya berdebar karena gembira. Wajahnya seketika menjadi sumringah. Ia mengenali sosok yang ia yakin akan menemuinya tersebut walau ia belum melihatnya, bahkan hanya melalui suara saja, bahkan terkadang bau tubuh yang khas dan mewangi. Ia pun segera bangkit. Ia lupakan teh tubruk pahit. Ia lupakan orang-orang yang selalu bertanya seperti nyamuk yang selalu mengiung-ngiung di telinga. Ia lupakan kesedihan, karena begitu senang dirinya saat ini.
Puji sampai di ambang pintu dan benar saja, itu adalah Supriyadi yang memasuki pekarangan dan menatapnya. Segera, Puji menghampiri dan memeluk suaminya. Ia menubruk dan menghempaskan tubuh ke suaminya. Betapa rindunya ia, dada bidang suaminya memberinya rasa aman, dan bau tubuhnya yang asam karena keringat selalu membuatnya kecanduan untuk selalu mengendusnya. Tapi bau tubuhnya kali ini agak lain.
“Maafkan aku,” ucap Supriyadi.
Ucapannya lalu berubah menjadi gema dan perlahan menghilang. Supriyadi melepaskan pelukannya dan berjalan mundur meninggalkannya. Puji berusaha mencegah dan mengejarnya, ia tidak akan melewatkan malam tanpa suaminya lagi. Tapi, bias cahaya putih mulai tampak dan menjadi semakin kental, menelan sosok lelaki itu.
“Mbak Puji, Mbak.”
Puji terbangun, rupanya ia tertidur dan tadi pastilah hanya mimpi. Seorang tetangganya menggoyang-goyangkan bahu Puji.
“Mas Supri... Mas Supri...” ucap perempuan itu gelisah.
“Mana, mana Mas Supri?” Puji segera bangun.
“Di rumah Mbak Lastri...”
“Hah, ada di rumah Mbak Lastri?”
“Bukan, a-ada telepon di rumah Mbak Lastri.”
“Iya, aku juga tahu kalau di rumah Mbak Lastri ada telepon”
“Telepon dari rumah sakit...”
“Hah?”
“... Mas Supri kecelakaan!”
“Gusti Allah!”
By, ” A-m-f “
Cerpennya bagus sekali, Akh.
BalasHapussangat menyentuh...
tp sayang kok ndak pernah di update lagi???
Salam dari, http://masyhury.web.id